Bisnis.com, JAKARTA - Kamis, 20 Februari 2025, menandai babak baru kepemimpinan daerah di Indonesia dengan pelantikan serentak setidaknya 961 kepala daerah oleh Presiden Prabowo Subianto. Momentum ini membawa harapan baru bagi berbagai sektor, termasuk perlindungan lingkungan.
Sebulan setelah pelantikan tersebut, tepatnya pada 21 Maret, dunia akan memperingati Hari Hutan Internasional (HHI). Peringatan tahunan tersebut menjadi pengingat akan pentingnya menjaga hutan sebagai benteng ekosistem yang menopang kehidupan.
Sebagai otoritas yang paling dekat dengan masyarakat, pemerintah daerah punya tanggung jawab besar menjaga kelestarian hutan di wilayahnya. Ketegasan dalam melindungi hutan tentu sangat diperlukan demi mencegah dampak buruk bagi masyarakat berupa bencana alam yang makin sering terjadi akibat deforestasi.
Patut dicatat bahwa hutan kita sedang menghadapi persoalan serius. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir deforestasi mencapai 7,7 juta hektare (ha). Sementara itu, laporan dari MADANI Berkelanjutan mencatat lebih dari 200.000 ha hutan di Indonesia terbakar sepanjang Juli—Agustus 2024.
Sayangnya, di tengah angka-angka yang mengkhawatirkan tadi, isu lingkungan dan kelestarian hutan masih terpinggirkan dari agenda politik, baik di tingkat nasional maupun daerah. Padahal, peran hutan tak diragukan dalam memitigasi perubahan iklim, mencegah banjir dan longsor, hingga menopang perekonomian.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam haruslah ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Namun, praktik di lapangan sering kali berkata lain.
Baca Juga
Banyak kepala daerah yang lebih mengedepankan proyek-proyek yang membawa keuntungan pribadi dengan memberikan karpet merah bagi korporasi dalam membuka lahan, utamanya sawit dan tambang. Prosesnya acap kali mengorbankan kelestarian alam melalui praktik pembakaran hutan.
VISI LINGKUNGAN
Kepala daerah memegang peran vital dalam mengelola sumber daya hutan di wilayah mereka. Namun, pertanyaannya apakah para kepala daerah kita punya visi lingkungan yang jelas? Seberapa banyak dari mereka yang benar-benar peduli terhadap kelestarian hutan dibandingkan yang hanya memikirkan kepentingan pribadi?
Kita butuh pemimpin yang memiliki visi dan berani mengambil kebijakan progresif, terutama dalam mengatasi peningkatan masalah pengelolaan hutan. Data Pramitaqwati dan Rosnawati (2024) dalam Analisis Putusan Pembalakan Liar Terhadap Hutan Lindung di Indonesia menunjukkan lonjakan jumlah putusan pengadilan terkait kasus pembalakan liar pada periode 2005—2022.
Misalnya, jumlah kasus meningkat signifikan dari hanya dua kasus pada 2005 menjadi 188 kasus pada 2020. Meski jumlah kasus menurun menjadi 23 pada 2022, angka tersebut tetap menjadi alarm bahaya karena illegal logging masih menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan.
Selain pengawasan, langkah lain yang perlu dipastikan adalah penerapan sanksi administratif yang lebih tegas kepada Pemegang Izin Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang nakal.
Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 (PP 23/2021) sebetulnya mengatur denda hingga 10 kali Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk pelanggaran seperti penebangan melebihi toleransi atau tidak melaksanakan pengukuran hasil hutan sesuai prosedur. Apakah aturan tersebut sudah ditegakkan dengan baik, atau masih ada tebang pilih?
Hubungan erat antara politisi di Ibu Kota maupun daerah dengan pemilik bisnis perkebunan atau pertambangan menjadi salah satu alasan utama mengapa kebijakan pro-lingkungan sulit diimplementasikan. Bahkan, menurut data Auriga Nusantara, dari 257.000 ha deforestasi di 2023 sebagian besar terjadi di kawasan hutan negara. Karena itu, pemerintah perlu memastikan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk memberikan efek jera.
Lebih lanjut, kebijakan insentif kepada pihak yang dapat melestarikan hutan sebagaimana diatur di Pasal 41 (10) PP 23/2021 sejatinya juga menawarkan asa besar bagi perlindungan hutan. Hanya saja, implementasinya akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah khususnya kepala daerah.
Dari sisi pemerintah pusat, saat ini sudah ada sejumlah kebijakan insentif fiskal untuk pelestarian hutan. Misalnya, tax allowance untuk investasi di bidang kehutanan, pembebasan PPN dan PPnBM serta bea masuk atas impor barang untuk konservasi alam, serta PPN dibebaskan atas impor dan penyerahan bibit dan/atau benih dari barang kehutanan.
MENJAGA ASA
Hutan Indonesia menyimpan asa bagi kehidupan yang tak terhitung jumlahnya sehingga perlu dipastikan lestarinya. Bukan hanya sebagai rumah bagi beragam flora dan fauna, hutan juga menjadi sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat adat kita.
Pada 1950, luas hutan Indonesia diperkirakan mencapai 193 juta ha. Ironisnya, data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK pada 2019 menunjukkan luas hutan yang tersisa hanya 94,1 juta ha, atau tinggal setengahnya. Dengan tren kehilangan 7 juta ha hutan dalam satu dekade terakhir, hutan kita akan lenyap dalam beberapa dekade saja bila tanpa langkah nyata.
Kini, setelah pelantikan serentak 961 kepala daerah itu, masa depan hutan praktis beralih ke tangan para pemimpin baru. Mereka punya kendali langsung atas pengelolaan kawasan hutan di wilayahnya.
Kepala daerah yang baru dilantik harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar aktor politik, melainkan pemimpin yang mampu melindungi hutan sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang. Asa hutan kita tidak boleh dibiarkan pudar di persimpangan jalan.