Bisnis.com, JAKARTA – Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia ( World Trade Organization/WTO) memutuskan bahwa Uni Eropa (UE) terbukti melakukan diskriminasi terhadap bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku minyak sawit asal Indonesia.
Keputusan ini tertuang dalam laporan hasil putusan panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025. Kementerian Perdagangan Indonesia menyambut positif putusan tersebut dan berharap kebijakan serupa tidak diterapkan oleh mitra dagang lainnya.
“Pemerintah Indonesia menyambut baik putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Ini menjadi dasar bagi Uni Eropa agar tidak sewenang-wenang memberlakukan kebijakan yang diskriminatif. Kami harap negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” kata Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam pernyataan, Kamis (16/1/2025).
Biodiesel berbasis sawit asal Indonesia kehilangan akses ke pasar Uni Eropa menyusul penerapan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation. Regulasi ini mengatur konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi di Uni Eropa pada 2020-2023. Minyak sawit masuk dalam kategori komoditas dengan risiko alih fungsi lahan yang tinggi berdasarkan studi yang menjadi landasan kebijakan ini.
Berdasarkan laporan Reuters, Panel WTO yang beranggotakan tiga orang ini memutuskan bahwa pembatasan emisi gas rumah kaca yang mendasari kebijakan Uni Eropa bersifat sah. UE juga dinilai memiliki dasar yang wajar untuk menetapkan biodiesel berbasis minyak sawit sebagai komoditas dengan ‘risiko tinggi’.
Meski demikian, panel tersebut juga menemukan kesalahan dalam cara UE menyiapkan, menerbitkan, dan mengelola langkah-langkahnya. Kesalahan ini meliputi tidak dilakukannya peninjauan data yang tepat waktu dalam penentuan risiko tinggi dan kewajiban transparansi yang tidak terpenuhi.
Baca Juga
Panel WTO juga menyatakan bahwa UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan bagi biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia, dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.
Selain itu, UE juga terbukti menerapkan perlakuan berbeda dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai. Panel turut menyoroti kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam RED II.
Kementerian Perdagangan Indonesia mengatakan bahwa UE akan dipaksa untuk menyesuaikan kebijakannya sehingga mematuhi putusan tersebut. Di sisi lain, Indonesia akan memantau dengan cermat perubahan peraturan UE agar memenuhi rekomendasi Panel WTO.
“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” kata Budi Santoso.
Indonesia secara resmi mengajukan komplain terkait sengketa biodiesel berbasis sawit ke DSB WTO pada 2019 dengan registrasi kasus bernomor DS593.
Berdasarkan data Direktorat Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, potensi ekspor biodiesel ke Uni Eropa yang tengah diperjuangkan mencapai US$532,5 juta pada 2018. Indonesia tercatat mengekspor 807.439 ton biodiesel ke negara-negara blok Eropa itu pada tahun tersebut.