Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Investasi Hidrogen Salim di Singapura, RI Tidak Siap?

First Pacific Company Limited, milik konglomerat Anthoni Salim, akan membangun pembangkit listrik tenaga hidrogen di Pulau Jurong, Singapura.
Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Anthoni Salim kepada awak media seusai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) dan luar biasa (LB)  di Jakarta. Bisnis
Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Anthoni Salim kepada awak media seusai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) dan luar biasa (LB) di Jakarta. Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Salim Group kembali melakukan ekspansi bisnis di sektor energi baru terbarukan. Sayang investasi jumbo berupa pembangkit listrik berbasis hidrogen tidak dibangun di Indonesia, melainkan Singapura. 

First Pacific Company Limited, milik konglomerat Anthoni Salim, melalui anak usahanya PacificLight Power Pte. Ltd. (PLP) akan membangun pembangkit listrik tenaga hidrogen di Pulau Jurong, Singapura.

Menurut pemberitaan Forbes, proyek pembangkit tersebut memiliki nilai kontrak senilai US$735 juta atau sekitar Rp11,9 triliun. Adapun, PLP telah mengantongi hak untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan fasilitas combined cycle gas turbine (CCGT) hidrogen dari otoritas energi atau Energy Market Authority (EMA) Singapura. 

Adapun, PLP adalah perusahaan pembangkit listrik dan perusahaan ritel listrik yang berbasis di Singapura. Perusahan ini beroperasi sejak 2014 dan memasok hampir 10 persen dari kebutuhan listrik Singapura. 

Investasi triliunan rupiah ini membuat ngiler pemangku kepentingan EBT Tanah Air. Mengingat, Indonesia masih mengejar target bauran energi. Terlebih lagi pembangkit listrik yang dikembangkan PLP berbasis hidrogen. 

Potensi Investasi Hidrogen

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, potensi investasi hidrogen di Tanah Air masih terbuka lebar untuk sektor domestik maupun ekspor. 

“Kita harus memproduksi [lebih banyak] hidrogen, karena sejauh ini baru untuk kebutuhan industri. Jenis hidrogen yang diproduksi juga dilihat, karena Jepang dan Korea tidak ingin menggunakan hidrogen yang dihasilkan dari hasil pembakaran energi fosil,” ujarnya, saat dihubungi Bisnis, Rabu (8/1/2025). 

Pengembangan industri hidrogen untuk ekspor, baik jenis biru maupun hijau, mengantisipasi penurunan ekspor batu bara di masa mendatang. Menurutnya, peta jalan yang disiapkan pemerintah, perlu lebih diperdalam sehingga meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya. 

“Harus didorong produksinya, baru demand muncul. Pemerintah juga perlu memikirkan aturan terkait standar harganya. Sejauh ini wajar, tidak ada yang masuk, karena investor masih wait and see arah kebijakan pemerintah,” tambahnya.

Sejauh ini, pengembangan hidrogen hijau di Tanah Air memang tidak semasif biodiesel ataupun pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Hanya saja, pengembangan hidrogen hijau sudah digaungkan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) pada Februari 2024. 

PLN meresmikan pilot project Hydrogen Refueling Station (HRS) dan Green Hydrogen Plant (GHP) PLTP Kamojang, Rabu (21/2). Adapun Pertamina, melalui Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) telah melakukan groundbreaking HRS di SPBU Daan Mogot, Jakarta. Sayang kelanjutan pengembangannya tidak banyak terdengar. 

Sejauh ini PLN juga sudah memproduksi hidrogen di 21 pembangkit dengan produksinya 199 ton per tahun. Selain itu, PLN juga mengembangkan hidrogen hijau dari true renewable energy production dengan membangun hydrogen production di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang. 

Dari fasilitas di Kamojang, ada tambahan sekitar 4,3 ton per tahun. Jadi, totalnya ada 203 ton green hydrogen dari 22 pembangkit milik PLN. Hanya saja, dari total produksi hidrogen yang dihasilkan, PLN hanya menggunakan 75 ton untuk kebutuhan operasional pembangkit.

Vice President Dekarbonisasi PT PLN (Persero) Ricky Cahya Andrian menjelaskan masih mencari offtaker hidrogen hijau yang dihasilkan oleh PLN. Menurutnya, dalam jangka panjang, hidrogen bisa dijadikan solusi pengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di pulau-pulau terpencil. 

“Menuju ke situ, harga hidrogen harus kompetitif, harus di bawah solar. Apakah bisa? Tergantung harga listriknya. Karena produksi hidrogen hijau menggunakan metode elektrolisis,” katanya, saat dihubungi Bisnis

Untuk mendukung pengembangan industri hidrogen Tanah Air, beragam insentif diperlukan, seperti keringanan PPn impor electrolyser, dan kepastian demand

Portofolio Bisnis EBT Salim Group

Sebelum berinvestasi dalam proyek pembangkit dengan kapasitas 600 megawatt (MW) yang menjadi pembangkit listrik tenaga gas kelas H terbesar di Singapura, Salim Group sudah memiliki sederet portofolio bisnis di sektor EBT. Sebelumnya, penetrasi bisnis PLP dilakukan bersama Medco Power.

Keduanya, akan mengembangkan pilot project impor listrik menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari Indonesia ke Singapura di Pulau Bulan, Provinsi Kepulauan Riau setelah menerima Izin Prinsip impor listrik dari EMA Singapura. 

Proyek ini memiliki kapasitas 670 MWp sebagai tahap awal, yang akan menyediakan listrik yang setara dengan 100 MW non intermittent ke Singapura. Hal ini sejalan dengan rencana Pemerintah Singapura dalam melaksanakan program Singapore Green Plan 2030 untuk meningkatkan porsi energi terbarukan. 

Di Tanah Air, mengutip pemberitaan Bisnis (8/24), Salim Group melalui PT Aruna Cahaya Pratama (Aruna PV) resmi mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Ground-Mounted 100 megawatt peak (MWp) di Kawasan Industri Kota Bukit Indah (KBI), Purwakarta, Jawa Barat.

Anak Usaha Grup Salim lainnya, PT Tamaris Hidro mengakuisisi saham perusahaan pembangkit listrik PT Bahtera Bayu Persada (BBPE) senilai Rp51,79 miliar. Melalui keterbukaan informasi, Manajemen Tamaris Hidro menyampaikan telah melakukan akuisisi saham (BBPE) senilai Rp51,79 miliar. 

Adapun BBPE adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM). Perseroan memiliki pembangkit di Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Adapun PLTM yang dimiliki oleh perseroan memiliki kapasitas sebesar 2x2,5 MW.

Tidak hanya itu, mengutip laman PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META), tercatat telah menuntaskan akuisisi 496.645 saham Inpola Meka Energi (IME) Rp45,17 miliar melalui Energi Infranusantara (EI) pada 2023. Adapun IME merupakan pemegang konsesi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) di Lau Gunung, Sumatra Utara. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper