Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia sempat merasakan booming sektor manufaktur pada 1980 sampai 2000 di tengah pertumbuhan konsumsi domestik dan upah pekerja yang masih murah.
Namun, sektor penyerap tenaga kerja ini cenderung berjalan di tempat 15 tahun terakhir. Terlihat dari kontribusi sektor manufaktur ke ekonomi yang bercokol di 20% per September 2024. Tidak jauh berbeda dari posisi 2010 di kisaran 22%.
JP Morgan dalam risetnya mencatat bahwa stagnasi ini dipengaruhi oleh kondisi industri yang berfokus pada sektor padat karya seperti tekstil, perkayuan dan tembakau. Upah pekerja yang makin tinggi cenderung mengurangi daya saing di sektor-sektor tersebut.
Berangkat dari kelemahan ini, JP Morgan berpandangan bahwa Indonesia perlu bertransisi ke sektor manufaktur berbiaya rendah hingga berteknologi tinggi untuk mendukung nilai tambah. Industri penghiliran nikel disebut-sebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk kembali meningkatkan kontribusi manufakturnya.
“Industri logam dasar menjadi salah satu yang tumbuh paling tinggi dalam 10 tahun terakhir karena penghiliran nikel,” tulis JP Morgan.
Penghiliran nikel di Indonesia berkembang pada saat tepat. JP Morgan mencatat perekonomian global kini menghadapi tren kenaikan permintaan kendaraan listrik (electric vehicles/EV) dan adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
“Dengan dorongan tersebut dan penghiliran nikel, Indonesia dapat mendorong sektor peralatan transportasi dan elektronik, yang masing-masing menyumbang sekitar 10% ke sektor manufaktur, tetapi tertinggal dengan pertumbuhan rata-rata hanya 3%,” tulis JP Morgan.
Tak hanya keikutsertaan pada rantai pasok manufaktur kendaraan listrik, BRI Danareksa Sekuritas turut menyoroti peluang lain bagi Indonesia. Terlebih di tengah risiko Perang Dagang Jilid II yang diantisipasi berbagai negara menjelang kembalinya presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump.
Pada masa pemerintahan pertama Donald Trump, tarif tinggi yang diterapkan pada produk China telah mendorong relokasi pabrik secara besar-besaran ke negara-negara seperti Meksiko dan Vietnam.
Kini, kedua negara tersebut berada di daftar teratas penyumbang defisit dagang terbesar Amerika Serikat. Situasi itu bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas akses pasar ke negeri Paman Sam.
Peluang ini telah terlihat dari aksi Amerika Serikat yang mulai menerapkan tarif tinggi atas impor panel surya dari beberapa produsen Asia Tenggara.
Penyelidikan Departemen Perdagangan AS pada November 2024 mengindikasikan bahwa panel surya dan komponen yang berasal dari Kamboja, Malaysia, Thailand dan Vietnam telah dijual dengan harga yang tidak adil di pasar AS. Produksi panel surya dari negara-negara ini diduga kuat memperoleh dukungan pemerintah di negara asal.
Akibatnya, Departemen Perdagangan AS menerapkan tarif tinggi untuk impor panel surya dari sejumlah produsen asal negara-negara tersebut. Aksi serupa juga pernah diterapkan untuk impor panel surya dari China.
Besaran tarif impor yang diterapkan beragam, mulai dari 117,12% untuk Kamboja, 17,84% untuk Jinko Solar Technology Sdn. Bhd. dari Malaysia, hingga 271,28% untuk produsen-produsen asal Vietnam.
Baca Juga : AS Terapkan Bea Masuk Hingga 271% untuk Impor Panel Surya dari Asia Tenggara, Ada Indonesia? |
---|
Sebagai catatan, nilai impor panel surya dari sejumlah negara Asia Tenggara mengalami lonjakan yang cukup signifikan dalam kurun 2021-2023. Impor dari Kamboja tercatat bernilai US$218,23 juta pada 2021 dan kemudian mencapai US$2,31 miliar pada 2023.
Tren serupa diperlihatkan pula untuk impor panel surya dari Vietnam yang bernilai US$1,31 miliar pada 2021 menjadi US$3,99 miliar pada 2023.
Sementara itu untuk Indonesia, ekspor panel surya atau photovoltaic cells assembled in modules or made up into panels ke Amerika Serikat pada 2021 hanya bernilai US$19,88 juta. Nilai tersebut meningkat menjadi US$222,57 juta pada 2023. Indonesia sendiri tidak masuk dalam daftar subjek yang diselidiki atas dugaan dumping.
Catatan lain yang perlu diperhatikan Indonesia dalam rantai pasok manufaktur ‘hijau’ adalah kesiapan regulasi dalam menadah investasi.
Laporan BloombergNEF mengungkap bahwa India menjadi yang terdepan melampaui China sebagai tujuan investasi teknologi hijau dalam beberapa bulan terakhir. Capaian ini didukung oleh upaya pemerintah India dalam memperkuat manufaktur hijau di dalam negerinya.
Serangkaian kebijakan dari pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi telah memperkuat sektor energi terbarukan India. Badan Energi Internasional bahkan memperkirakan India akan menorehkan laju ekspansi energi terbarukan tercepat di antara negara ekonomi utama hingga akhir dekade ini.
Baca Juga : Investasi Bank Sentral Norwegia di Saham Top ESG Indonesia, dari Erajaya (ERAA) hingga Jasa Marga (JSMR) |
---|
Data yang dihimpun memperlihatkan bahwa aliran investasi hijau ke India pada kuartal III/2024 mencapai US$2,4 miliar, melampaui China yang mendapat guyuran pendanaan sebesar US$500 juta. Amerika Serikat masih menempati peringkat teratas dengan total investasi teknologi hijau mencapai US$3,7 miliar.
Mitra pendiri di Capital Partners, lembaga ekuitas yang berfokus pada iklim, Raj Pai mengatakan tingginya investasi teknologi hijau di India tidak terlepas dari upaya India untuk mengembangkan kapasitas energi bersihnya, serta mengurangi ketergantungan terhadap China.
“Ketertarikan terhadap sektor iklim, baik dari modal publik maupun swasta, sangat tinggi," ujarnya.
Meski India menyaingi China dalam pendanaan teknologi hijau pada kuartal ketiga, negara tersebut masih tertinggal secara kumulatif dengan nilai US$3,6 miliar. Sementara itu, China telah menarik investasi hijau sebanyak US$5,6 miliar sepanjang sembilan bulan 2024.
Pasar teknologi iklim diproyeksikan tumbuh pesat seiring upaya perusahaan-perusahaan mengembangkan solusi pengurangan polusi. Perkembangan ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas perannya dalam manufaktur teknologi hijau, terlebih dengan modal yang telah dimiliki.