Bisnis.com, JAKARTA – Laporan terbaru Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan batu bara global akan terus meningkat dan mencapai rekor baru setiap tahunnya sampai 2027. Kondisi tersebut dapat mempersulit target penurunan emisi karbon dunia.
Estimasi terbaru IEA sekaligus berseberangan dengan proyeksi awal yang menyebutkan bahwa permintaan batu bara telah mencapai puncaknya pada 2023. Permintaan batu bara pada 2027 diestimasi menembus 8,9 miliar ton atau sekitar 1% lebih tinggi daripada level 2024.
IEA menyebutkan estimasi ini cukup realistis, mengingat realisasi permintaan batu bara dalam beberapa tahun terakhir selalu berada di atas perkiraan.
"Hasil pemodelan kami menunjukkan permintaan global terhadap batu bara akan stagnan hingga 2027, meskipun konsumsi listrik meningkat tajam," kata Keisuke Sadamori, Direktur Pasar Energi dan Keamanan IEA dalam pernyataan yang dikutip Bloomberg, Rabu (18/12/2024).
Sadamori mengemukakan kondisi cuaca di negara importir, terutama China sebagai konsumen terbesar di dunia, akan menentukan arah permintaan dalam jangka pendek. Adapun selama Januari-September 2024, impor batu bara China menembus 3,9 miliar ton atau naik 11,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Selain itu, laju pertumbuhan permintaan listrik juga akan sangat menentukan dalam jangka menengah,” tambahnya.
Baca Juga
IEA telah memproyeksikan stagnasi permintaan batu bara selama setidaknya lima tahun terakhir, tetapi berulang kali merevisi perkiraan mereka. Permintaan batu bara pada 2024 tercatat sekitar 9% lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi yang dibuat beberapa tahun lalu.
Meski permintaan batu bara cenderung menurun tajam di pasar Eropa dan Amerika Serikat, peningkatan permintaan di India dan China tercatat telah mengimbangi penurunan tersebut.
IEA mengestimasi kenaikan permintaan batu bara di dua negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut pada 2027 akan melampaui total permintaan di Uni Eropa pada tahun yang sama. Kondisi ini sekaligus memperlihatkan pentingnya keikutsertaan negara berkembang dalam transisi energi dan kemudahan akses energi bersih murah untuk menahan dampak negatif perubahan iklim.
Sebagai catatan, batu bara sebagai bahan bakar fosil dengan intensivitas karbon tinggi merupakan penyumbang emisi karbon CO2 terbesar selama periode Antroposen atau pascaindustri. IEA mencatat kontribusi pembakaran batu bara terhadap total emisi global mencapai 15,5 gigaton atau setara 40% dari emisi terkait energi pada 2023. Adapun pembangkit listrik bertenaga batu bara menyumbang emisi sekitar 11 gigaton.