Bisnis.com, JAKARTA - SCG mendorong terintegrasinya kegiatan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan untuk mencapai pertumbuhan hijau atau green growth, melalui gelaran 'ESG Symposium 2024 Indonesia: Inclusive Green Growth for Golden Indonesia'.
SCG meyakini bahwa ketahanan dan stabilitas lingkungan adalah salah satu kunci resiliensi bangsa dalam mencapai target pembangunan Indonesia Emas 2045 dan Net Zero Carbon Emission 2060, serta menghadapi berbagai krisis di masa depan.
Dalam symposium tersebut, SCG mendorong kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat, untuk menyelesaikan persoalan lingkungan seperti deforestasi, pencemaran air, udara, dan tanah; krisis iklim, serta kelangkaan sumber daya alam.
President & CEO SCG Thammasak Sethaudom menyampaikan keberlanjutan bukanlah tujuan akhir, melainkan esensi dari bisnis SCG.
"Sebagai salah satu kontributor ekonomi, kami terus mengeksplor inisiatif dalam menerapkan end-to-end kegiatan operasional dan bisnis yang berkelanjutan. Antara lain, dengan menciptakan inovasi produk hijau dan membangun infrastruktur hijau di Indonesia. Kami mendukung Indonesia Emas 2045 sebagai rencana strategis pembangunan nasional yang meliputi transformasi di seluruh bidang, termasuk lingkungan. Cita-cita ini dapat terwujud dengan kolaborasi yang terstruktur, dan kami siap menjadi mitra utama Indonesia," ujarnya dalam siaran pers, dikutip Kamis (21/11/2024) .
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Vivi Yulaswati menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia mendukung ekonomi hijau untuk menurunkan emisi kumulatif hingga 51,5% pada 2045 dan menciptakan lapangan kerja layak serta menarik investasi.
Baca Juga
"ESG menjadi kendaraan utama untuk mewujudkan keberlanjutan ini, seiring meningkatnya minat investor dan konsumen pada nilai berbasis keberlanjutan. Kami berharap ESG Symposium ini memacu kolaborasi lintas sektor, dengan pemerintah menyediakan regulasi pendukung dan industri mempercepat inovasi untuk transisi ekonomi hijau," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyampaikan bahwa kebijakan sektor energi ke depan berfokus pada ketahanan energi dan transisi energi berkeadilan melalui efisiensi energi, percepatan energi baru terbarukan, dan pembangunan rendah karbon.
Untuk mencapai net zero emission (NZE), sambungnya, energi terbarukan perlu ditingkatkan tiga kali lipat dan efisiensi energi dua kali lipat, dengan geothermal sebagai andalan karena potensinya mencapai 23 GW.
"Kerangka kerja ESG harus terus ditingkatkan untuk menarik lebih banyak investasi, meminimalkan risiko, serta mendorong penghematan energi secara signifikan. Pemerintah juga akan mempercepat perizinan dan meningkatkan return on investment (IRR) sebesar 1,5% guna mendukung transformasi energi berkelanjutan," jelasnya.
Dalam kesempatan ini, SCG memperkenalkan inovasi produk Low Carbon Cement atau semen rendah karbon terbaru, yang akan dipasarkan di Indonesia debngan merek “Bezt Eco Friendly Cement”.
Proses manufaktur produk ini menggunakan energi terbarukan dan bahan baku daur ulang seperti semen slag, abu terbang, dan limbah industri. Dalam formulasinya, SCG menggunakan CACO3 Calcium Carbonate yang meningkatkan kekuatan beton dan gypsum untuk memperlambat pengerasan semen.
Proses produksi dan formulasi produk tersebut berhasil mengurangi emisi CO2 hingga 50kg per ton. Produk ini berhasil mendapatkan skor 95% pada sertifikasi Green Label dan skor SNI 127% untuk tingkat ketahanan, 7% lebih tinggi dari produk-produk dengan harga serupa.
Selain inovasi produk, Warit Jintanawan, Country Director SCG di Indonesia juga menjelaskan bahwa transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan juga menjadi strategi penerapan ESG dengan porsi yang signifikan dalam bisnis SCG di Indonesia.
"Transisi energi adalah upaya strategis untuk dekarbonisasi. Dengan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, kita turut mengurangi risiko perubahan iklim dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Manfaat ini akan terasa secara jangka panjang, ketika ketersediaan sumber daya alam kita mencukupi untuk generasi berikutnya, serta kondusivitas lingkungan mampu menciptakan peluang ekonomi, seperti menarik investasi asing dan menciptakan lapangan kerja baru. Inilah indikator-indikator pertumbuhan ekonomi hijau yang perlu kita sasar,” ujar Warit.