Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan merevisi Permen LHK No. 5 tahun 2021 yang mengatur Tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan.
Beleid yang erat terkait dengan pengelolaan limbah cair di industri kelapa sawit sejatinya merupakan turunan dari kebijakan PP No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan disahkannya peraturan tersebut pada tahun 2021 lalu, secara otomatis mencabut peraturan sebelumnya yakni KepMen LH No. 28 Tahun 2003 Tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dari Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit (PKS), serta KepMen LH No 29 Tahun 2003 Tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Minyak di PKS.
Dalam FGD yang dilakukan belum lama ini di Bogor, Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam, Prof Yanto Santosa menilai, revisi ini diperlukan agar para pelaku usaha dapat memanfaatkan limbah sawit untuk diaplikasikan ke lahan perkebunan.
Dia juga menambahkan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) berpeluang memberikan manfaat untuk lingkungan, agronomi maupun ekonomi.
“Itu sebabnya perlu adanya perubahan paradigma dari menganggap LCPKS sebagai sampah berbahaya yang harus dibuang menjadi sumberdaya yang memiliki multimanfaat,” kata Yanto Santosa dalam siaran pers, Kamis (28/11/2024).
Namun, Yanto menjelaskan, penanganan LCPKS selama ini masih terkendala berapa hal.
Pertama, masih kurangnya pemahaman tentang multimanfaat LCPKS. Padahal LCPKS memiliki potensi manfaat agronomis, ekonomi, dan lingkungan yang besar.
Kedua, pembuangan LCPKS walaupun dengan BOD kurang dari 100 mg/l secara langsung ke badan sungai akan sangat berbahaya karena masih mengandung unsur hara.
“Unsur hara antara lain kalium, phospat dan ammonium yang dapat berubah menjadi amoniak pada pH tinggi sehingga menyebabkan kematian biota, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan eutrofikasi,” ujar Yanto.
Selain itu kandungan hara kalium dan phospat yang merupakan komponen utama/makro pupuk ikut terbuang menyebabkan eutrofikasi, pencemaran air, dan hilangnya jutaan ton nutrisi (seperti kalium dan fosfat) setiap tahun,
Menurut Yanto, ketidakjelasan regulasi, dengan dicabutnya Kepmen LH No. 28/2003 dan No. 29/2003 oleh Permen LHK No.5/2021 menyebabkan tidak adanya baku mutu teknis pemanfaatan LCPKS untuk aplikasi tanah (land application).
“Permen LHK No. 5/2021 belum mengatur secara detail prosedur, standar baku mutu, serta waktu pengurusan persetujuan teknis [Pertek] dan Surat Kelayakan Operasional [SLO],” kata dia.
Menurut Yanto, penerapan land application (LA) sangat penting dan bermanfaat dengan terus mempertimbangkan dosis dan frekwensi optimal, jenis tanah, faktor cuaca, redox dan parameter lainnya sesuai karakteristik masing-masing lokasi kebun kelapa sawit.
Pada kadar BOD tertentu (3.000-5.000 mg/liter) dengan eH < - 150 mVolt, kandungan LCPKS mengandung input unsur hara yang paling optimal dan tidak menimbulkan emisi gas methane.
Pada kadar BOD yang lebih rendah LCPKS akan memiliki kandungan nutrien rendah juga.
Terbukti dari data lapangan yang menunjukkan bahwa aplikasi LCPKS pada kadar BOD kurang dari 100 sama sekali tidak berdampak terhadap produksi TBS dan sifat fisik/kimia/biologi tanah.
Menurut Yanto, pemanfaatan LCPKS melalui teknologi Methane Capture dan Methane Bio-digester sudah diterapkan di beberapa PKS.
Setiap PKS yang memiliki Methane Capture dapat menghasilkan sekitar 13.000 m3 gas campuran/hari yang dapat menjalankan pembangkit listrik setara paling sedikit 1 MWh.
Namun mengingat tarif biogas yang dihasilkan hanya dihargai kurang dari Rp1.000 oleh PLN maka secara finansial, program methane capture ini kurang ekonomis.
Adapun dampak ekologi pembuatan methane capture yaitu jika 1 jam dihasilkan 10rb-15rb m3 gas campuran maka CH4 yang diperoleh 5,5rb-6rb m3 CH4/jam berarti 34,65-42 juta m3 gas CH4/tahun dapat dimanfaatkan (diasumsikan setara dengan emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer = 572.725-693.000 ton Co2-e/tahun).
Yanto menyarankan, Pemerintah perlu mempercepat revisi regulasi yang mendukung dan mempermudah pengelolaan/pemanfaatan LCPKS secara optimal dan berkelanjutan dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan.
“Perusahaan perlu meningkatkan transparansi pengelolaan limbah dan melaporkan secara rutin kepada instansi terkait” saran Yanto.
Yanto juga menyarankan, perlu penelitian dan inovasi teknologi pengolahan dan atau pemanfaatan LCPKS sehingga memiliki nilai tambah ekonomis optimal dengan pengurangan emisi GRK maksimal sehingga menjamin keberlanjutan.
“Perlu sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat serta pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran atas manfaat dan risiko LCPKS dari aspek lingkungan, agronomi, dan ekonomi,” kata Yanto.